Kamis, 23 Agustus 2012

WDB, Siapa Diuntungkan? Sebuah Kenyataan?

Subak di Bali (Balitulen.blogspot.com)

Brata kini tak lagi bertanam sayur mayur seperti 5-10 tahun yang lalu. Kini di lahannya yang tak seberapa luas di daerah Tabanan, ia hanya menanam padi, meski hasilnya tak sebesar jika bertanam sayur mayur. Berkat bertanam sayur mayur itulah, anak semata wayangnya kini sudah tiga kali berlayar di sebuah kapal pesiar, setelah menamatkan pendidikan D2 Pariwisata di Kota. Dulu, ia giat bertanam sayur mayur, karena memang memberi hasil lebih ketimbang menanam padi saja. Panen sayur mayur, mentimun, tomat, cabai, kacang panjang, yang ditanamnya secara tumpang sari, bisa lebih sering panen. Pemasaran dan harga saat itu masih bagus. Tentu didukung pula oleh pengairan yang baik dari sistem subak di daerahnya.

Kini urusan perut sudah bukan persoalan lagi bagi Brata yang tinggal di desa hanya bersama istrinya. Tetapi bukan karena ia sekarang sudah kerap dikirimi dilar oleh sang anak, yang menyebabkan ia tak lagi bertanam sayur mayur, ialah makin bertambahnya usia dan berkurangnya tenaga, sehingga ia pun kini hanya menanam padi saja. Brata masih boleh nyaman bertanam padi karena sistem pengairan di aerahnya masih bagus. Ia mungkin lebih beruntung daripada petani lainnya di daerah lain yang kawasan subaknya telah ditumbuhi hotel, restoran dan fasilitas pariwisata lainnya. Fasilitas yang katanya menopang perekonomian Bali, melahap garang lahan-lahan pertanian produktif, sempit dan juga terhimpit sampai kawasan jurang.

Buntung atau beruntungkah petani yang lahan subaknya diserbu villa dan fasilitas pariwisata lainnya, tak mudah untuk mendefinisikannya. Bisa dikatakan beruntung karena jelas dan pasti, nilai harga jual tanah di kawasan tersebut menjadi tinggi. Bisa dikatakan buntung karena petani di kawasan itu otomatis tak lagi bisa melakukan aktivitas bercocok tanam pertanian dengan baik karena dijepit pohon beton. Sementtara sebagai tanah warisan, sangat tak elok jika petani bersangkutan menjual tanahnya.

Fenomena Brata dan petani di Bali lainnya ini kini menggejala tak terkecuali di daerah yang dikenal sebagai lumbungnya beras, Tabanan. Fenomena Brata memang menimpa petani dan pertanian serta sistem subak Bali. Brata boleh saja bangga karena sudah berhasil menuntaskan kewajiban membekali anaknya dengan ilmu pengetahuan. Tetapi dalam konteks budaya agraris, Brata kehilangan penerus. Para petani memang bersusah payah menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya agar tidak lagi menjadi petani seperti dirinya yang berkotor-kotor di lumpur, berpeluh dan berpenghasilan kecil.

Mungkin benar tak ada satupun petani yang mengharapkan anak-anaknya dan generasinya selanjutnya juga menjadi petani. Jika anaknya juga menjadi petani, maka sebagai orangtua dikatakan gagal mendidik dan "menjadikan"anaknya. Sementara di sisi lainnya, pemerintah dan mereka yang sudah hidup kenyang di pariwisata dengan bergelimang dolar, terus mendorong agar pertanian diberi perhatian lebih, dilestarikan bahkan dikembangkan.

Ini sebuah ironi, kontradiktif. Petani diangkat-angkat di wadah pertanian yang tersanjung namun berlumpur dan berpeluh. Sementara yang menikmati hasillnya, mereka yang menjual paket wisata budaya kehiduppan agrarisnya para petani.

Ditengah fenomena petani ini, menyeruak penetapan UNESCO akan subak (beberapa kawasan Subak di Bali) sebagai warisan budaya dunia (WDB). Penetapan subak sebagai warisann budaya dunia oleh UNESCO ini sudah dilakukan bulan lalu. Adakah kabar ini membawa angin segar menyejukkan bagi kehidupan petani dan subak sebagai sebuah sistem tata kelola air di Bali? Siapa yang diuntungkan, dan siapa yang buntung?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar