Objek wisata Sangeh, di desa Sangeh, Kabupaten Badung sudah
terkenal sejak dahulu. Konon kera yang menghuni hutan Sangeh sehinggah dikenal
dengan sebutan Monkey Forest, sudah ada sejak abad ke 17. Dikembangkan sebagai
objek wisata sejak 1970-an, mencapai kejayaan di awal tahun 1980. Monkey forest
yang kemudian berganti nama menjadi Bukit Sari Sangeh, belakangan nyaris tak
terdengar. Objek wisata ini seolah tenggelam di tengah hingar bingar
objek-objek wisata lain yang dikembangkan di Bali.
Bukit
Sari Sangeh yang sering hanya disebut Sangeh saja, terletak di Desa Sangeh ,
Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, sekitar 21 km arah utara Denpasar.
Bukit Sari Sangeh sejak 1 Januari 1969, dikelola menjadi objek wisata oleh Desa
Adat Sangeh. Pendanaannya berasal dari punia dan urunan warga Sangeh. Dan
benar, tahun 1970-1980, Sangeh merupakan onjek wisata favorit turis asing yang
berlibur ke Bali.
"Sangeh dulunya menjadi tujuan favorit wisata turis asing. Orang kenal Bali, selain Pantai Sanur ya Sangeh. Pada zaman itu wisatawan manca negara maupun lokal pasti datang ke Sangeh. Sangeh merupakan objek wisata yang paling digemari saat itu" ungkap Made Sumohon, Kepala Pengelola Objek Wisata Bukit Sari Sangeh.
"Sangeh dulunya menjadi tujuan favorit wisata turis asing. Orang kenal Bali, selain Pantai Sanur ya Sangeh. Pada zaman itu wisatawan manca negara maupun lokal pasti datang ke Sangeh. Sangeh merupakan objek wisata yang paling digemari saat itu" ungkap Made Sumohon, Kepala Pengelola Objek Wisata Bukit Sari Sangeh.
Namun kini, ketenaran Sangeh menjadi pudar dengan
kejadian yang tidak terduga, yakni penyerangankera terhadap beberapa
pengunjung. Salah satunya adalah penyerangan kera terhadap sutradara film yang
sedang melakukan shooting film di hutan Sangeh. Ya,ng bermula dari penendangan
raja kera lantaran tidak terima dengan perlakuan raja kera tersebut yang
merebut daun pepaya yang akan dipakai shooting.
Selain itu juga ada beberapa kejadian lainnya. Kera suka mengambil kaca mata, topi, perhiasan, dan barang bawaan pengunjung lainnya.
Sangeh sempat mati suri dan hilang dari promosi pariwisata sejak tahun 1990 an. Tahun 2003 berdasarkan Rapat Desa Adat Sangeh, disepakati Desa Adat kembali mengelola Sangeh. Alhasil, dengan pengelolaan yang dilakukan oleh Desa Adat Sangeh ini , kera pun tak lagi liar. Pengelolaan diserahkan kepada utusan lima banjar yakni Banjar Batu Sari, Banjar Brahmana, Banjar Sibang, Banjar Pemijian dan Banjar Muluk Babi. Sudah sembilan tahun Sumohon bersama 20 orang lainnya mengelola Bukit Sari Sangeh dengan kawasan hutan seluas 14 hektar yang dihuni 600-700 ekor kera itu.
Promosi gencar dilakukan, tapi tak mudah mengangkat kembali nama Sangeh. Meski demikian , upaya terus dilakukan dan jumlah pengunjung sekarang merangkak naik. Saat ini pihak pengelola dari Desa Adat ini terus bekerjasama dengan berbagai pihak termasuk guide freelance, pihak hotel dan biro jasa, seraya meminta agar pemerintah kabupaten Badung dan pemerintah Provinsi Bali bisa merespon usaha pengelolaan Bukit Sari Sangeh dengan memasukkan Sangeh ke dalam paket wisata. Seperti paket wisata yang sudah berjalan , yakni Sangeh-Taman Ayun-Joger-Bedugul. Dengan ini diharapkan Sangeh dapat kembali menjadi objek wisata favorit.
Selain itu juga ada beberapa kejadian lainnya. Kera suka mengambil kaca mata, topi, perhiasan, dan barang bawaan pengunjung lainnya.
Sangeh sempat mati suri dan hilang dari promosi pariwisata sejak tahun 1990 an. Tahun 2003 berdasarkan Rapat Desa Adat Sangeh, disepakati Desa Adat kembali mengelola Sangeh. Alhasil, dengan pengelolaan yang dilakukan oleh Desa Adat Sangeh ini , kera pun tak lagi liar. Pengelolaan diserahkan kepada utusan lima banjar yakni Banjar Batu Sari, Banjar Brahmana, Banjar Sibang, Banjar Pemijian dan Banjar Muluk Babi. Sudah sembilan tahun Sumohon bersama 20 orang lainnya mengelola Bukit Sari Sangeh dengan kawasan hutan seluas 14 hektar yang dihuni 600-700 ekor kera itu.
Promosi gencar dilakukan, tapi tak mudah mengangkat kembali nama Sangeh. Meski demikian , upaya terus dilakukan dan jumlah pengunjung sekarang merangkak naik. Saat ini pihak pengelola dari Desa Adat ini terus bekerjasama dengan berbagai pihak termasuk guide freelance, pihak hotel dan biro jasa, seraya meminta agar pemerintah kabupaten Badung dan pemerintah Provinsi Bali bisa merespon usaha pengelolaan Bukit Sari Sangeh dengan memasukkan Sangeh ke dalam paket wisata. Seperti paket wisata yang sudah berjalan , yakni Sangeh-Taman Ayun-Joger-Bedugul. Dengan ini diharapkan Sangeh dapat kembali menjadi objek wisata favorit.
SANGEH DAN POHON PALA
Nama Sangeh diyakini masyarakat sekitar terkait erat dengan hutan pala
yang berasal dari dua kata "Sang" yang berarti orang dan
"Ngeh" yang berarti nelihat , atau orang yang melihat.
Konon, pohon-pohon pala yang tumbuh di hutan Sangeh adalah kayu-kayu pala
dalam perjalanan dari Gunung Agung di Bali Timur menuju perjalanan ke Bali
Barat, tapi karena ada orang yang melihat, pohon - pohon tersebut berhenti di
tempat yang sekarang disebut Sangeh. Ada sekitar 200 pohon pala yang sudah berumur
sekitar 300 tahun. Pohon-pohon pala (Dipterocarpus trinervis) ini tumbuh di
kawasan hutan homogen seluas 14 hektar.
Sekitar 700 ekor kera hidup dan menjadi bagian hutan Sangeh. Tentang
kera-kera hutan Sangeh yang liar, konon karena kini tak ada lagi pawang
keranya. Dulu, ada seorang bernama I Nyoman Sura, seorang juru kunci Bukit Sari
Sangeh yang melakukan tugasnya sebagai pawang.Namun kini pawang itu sudah
meninggal dan sampai sekarang tidak ada lagi pawang yang menggantikannya. Namun
kini walau tidak ada lagi pawang, kera di Sangeh ini tidak liar lagi. Sudah
jinak dan tidak lagi suka mencuri dan merebut barang bawaan pengunjung. Hal ini
terjadi karena kera yang dulunya liar dan suka mencuri karenatidak
diperhatikan, tidak diberi makan. Sementara banyak pengunjung yang tak mengerti
dengan karakter kera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar